Selasa, 10 April 2012

INSTANSI VERTIKAL


Instansi vertikal adalah lembaga pemerintah yang merupakan cabang dari kementerian pusat yang berada di wilayah administrasi sebagai kepanjangan tangan dari departemen pusat. Contoh instansi vertikal adalah: Kepolisian Daerah, Kepolisian Wilayah, Polres, Polsek, Kejati, Kejari, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Kementerian, dan lain-lain.

 
Sumber:
Arenawati. 2011. Bahan Ajar Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah, Konsep, dan Praktik Otonomi Daerah. Serang.

ELECTORAL THRESHOLD DAN PARLIAMENTARY THRESHOLD PADA PEMILU 2009

Sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 mengenai ambang batas dalam electoral threshold untuk pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah suara nasional. Sementara ambang batas untuk parliamentary threshold tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 pasal 202, pasal 203, pasal 205, pasal 206, pasal 207, pasal 208, dan pasal 209. Pasal 202 ayat (1) menerangkan bahwa partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

TUGAS PEMBANTUAN

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab I Pasal 1 ayat 9, Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Daerah desa diberi tugas pembantuan yang di buat oleh pemerintah pusat untuk menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi. Karena urusan yang diperbantukan pada daerah otonom tersebut adalah urusan pusat, maka anggarannya berasal dari APBN.


Sumber:
Arenawati. 2011. Bahan Ajar Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah, Konsep, dan Praktik Otonomi Daerah. Serang.
Widjaja, HAW. 2007. Penyelenggaraan otonomi di Indonesia dalam rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.

PERBEDAAN DESENTRALISASI DAN DEKONSENTRASI

Perbedaan Desentralisasi dan Dekonsentrasi

No.
Desentralisasi
Dekonsentrasi
1.
Menciptakan daerah otonom.
Menciptakan perangkat pusat di berbagai wilayah.
2.
Memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi daerah otonom.
Terdapat batas-batas wilayah kerja atau jabatan atau administrasi.
3.
Penyerahan wewenang pemerintah dalam bidang politik dan administrasi.
Pelimpahan wewenang pemerintah hanya dalam bidang administrasi.
4.
Kewenangan diberikan pada daerah otonom.
Yang diberi pelimpahan wewenang adalah perangkat atau pejabat pusat.
5.
Menimbulkan otonomi daerah.
Tidak menimbulkan otonomi daerah.
6.
Daerah otonom berada di luar hierarkhi organisasi pemerintah pusat. Hubungannya adalah antar organisasi publik.
Wilayah administrasi berada dalam hierarkhi organisasi pemerintah pusat. Hubungannya adalah intra organisasi.
7.
Wewenang yang diserahkan terbatas pada wewenang pemerintah, yaitu wewenang yang dimiliki presiden dan para menteri.
Wewenang pemerintah yang diserahkan adalah pemerintah umum, koordinasi, pengawasan, tramtib, pembinaan bangsa, dan bidang pemerintah khusus dari menteri-menteri tekhnis.
8.
Pembiayaannya berasal dari APBD.
Pembiayaannya berasal dari APBN.



Sumber:
Arenawati. 2011. Bahan Ajar Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah, Konsep, dan Praktik Otonomi Daerah. Serang.

DEKONSENTRASI

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab I Pasal 1 ayat 8, Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Akibat dari diterapkannya asas dekonsentrasi adalah adanya wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja para pejabat yang menerima sebagian wewenang dari pusat. Berdasarkan asas dekonsentrasi inilah, maka menteri atau pejabat pusat menempatkan pejabatnya di daerah dengan wilayah kerja tertentu. Selain terbentuknya wilayah administrasi, dekonsentrasi juga mengakibatkan terbentuknya instansi vertikal.  Menurut asas dekonsentrasi pejabat pusat membuat keputusan politik dan pelaksanaannya dilimpahkan kepada pejabatnya di wilayah administrasi. Oleh karena itu, pejabat pusat akan membuat kantor-kantor beserta kelengkapannya di wilayah administrasi, yang merupakan cabang dari kantor pusat. Di sebut vertikal, karena berada di bawah kontrol langsung kantor pusat. Jadi, instansi vertikal adalah lembaga pemerintah yang merupakan cabang dari kementerian pusat yang berada di wilayah administrasi sebagai kepanjangan tangan dari departemen pusat. Contoh instansi vertikal adalah: Kepolisian Daerah, Kepolisian Wilayah, Polres, Polsek, Kejati, Kejari, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Kementerian, dan lain-lain.

 

Sumber:
Arenawati. 2011. Bahan Ajar Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah, Konsep, dan Praktik Otonomi Daerah. Serang.
Widjaja, HAW. 2007. Penyelenggaraan otonomi di Indonesia dalam rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

DESENTRALISASI

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab I Pasal 1 ayat 7, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
JHA Logemann membagi desentralisasi menjadi dua macam, yaitu:
1. Dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan tugas pemerintah. Misalnya, pelimpahan menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/walikota, dan seterusnya secara berjenjang.
2.    Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi politik rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah masing-masing.  Desentralisasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Desentralisasi Teritorial (Kewilayahan), yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie), batas pengaturannya adalah daerah. Desentralisasi teritorial mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang menerima penyerahan. Dimana daerah otonom tersebut dapat menentukan sendiri kebijakan daerahnya, kecuali kebijakan dalam bidang:
1.    Politik Luar Negeri
2.    Pertahanan
3.    Keamanan
4.    Peradilan
5.    Moneter
6.    Fiskal
7.    Agama
yang merupakan kajian wewenang pemerintah pusat.
b. Desentralisasi Fungsional, yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurusi fungsi tertentu. Batas pengaturan ini adalah jenis fungsi.
Konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan perspektif desentralisasi administratif (desentralisasi birokrasi). Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power), dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara perspektif desentralisasi administrasi mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority), dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau disebut juga dengan dekonsentrasi. Adanya perbedaan antara kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi tersebut, telah memiliki implikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai. Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal. Di sisi lain, Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi. Selain memiliki beberapa perbedaan mendasar, Perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi juga memiliki persamaan, yakni kedua perspektif desentralisasi tersebut mendudukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai bagian dari faktor penentu bagi pencapaian tujuan desentralisasi.
            Menurut Smith (1985) desentralisasi memiliki ciri-ciri:
1.  Penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa (residual function).
3.   Penerima wewenang adalah daerah otonom.
4.   Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan, wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal.
5.  Wewenang mengatur adalah wewenang menetapkan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak.
6.  Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual dan konkrit.
7.    Keberadaan daerah otonom adalah di luar hirarkhi organisasi pemerintah pusat.
8.    Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.
9.    Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam sistem politik.
Terdapat tiga alasan penerapan kebijakan desentralisasi, diantaranya:
1.    Untuk menciptakan efisiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan.
2.   Untuk memperluas otonomi daerah.
3. Untuk beberapa kasus, kebijakan desentralisasi diterapkan sebagai strategi untuk mengatasi instabilitas politik.
Sementara menurut Nelson Kasfir, alasan menerapkan desentralisasi lebih didasarkan pada pertimbangan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi daerah.
Menurut Nurcholis, alasan perlunya desentralisasi, yaitu:
a.  Untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada pemerintah pusat yang dapat menimbulkan tirani.
b.  Sebagai tindakan pendemokrasian.
c.  Dari sudut teknik organisatoris, mampu menciptakan pemerintahan yang efisien.
d. Dari sudut kultural, dimaksudkan agar perhatian sepenuhnya dapat tertuju pada kekhususan daerah.
e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi agar Pemerintah Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan ekonomi daerah.
Bagi negara-negara berkembang, terdapat beberapa tujuan, alasan, dan kendala dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Menurut pandangan Smith tujuan penerapan desentralisasi bagi negara-negara berkembang, yakni:
1.    Pendidikan politik.
2.    Latihan kepemimpinan politik.
3.    Memelihara stabilitas politik.
4.    Mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat.
5.    Memperkuat akuntabilitas publik.
6.    Meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat.
Terdapat dua hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan desentralisasi, yaitu:
1.    Berkaitan dengan skala besaran wilayah operasi pemerintah daerah yang mengakibatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi kurang efektif, terutama dalam hal menangani berbagai persoalan sosial dan ekonomi.
2.    Adanya ketidaktulusan di kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendudukkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses pengambilan keputusan.




Sumber:
Arenawati. 2011. Bahan Ajar Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah, Konsep, dan Praktik Otonomi Daerah. Serang.
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widjaja, HAW. 2007. Penyelenggaraan otonomi di Indonesia dalam rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.

SENTRALISASI

Sentralisasi adalah pemusatan semua kewenangan pemerintahan (politik dan administrasi) pada pemerintah pusat. Dimana kewenangan administrasi adalah kewenangan melaksanakan kebijakan, sedangkan kewenangan politik, yaitu kewenangan membuat kebijakan.
 

Sumber:
Arenawati. 2011. Bahan Ajar Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah, Konsep, dan Praktik Otonomi Daerah. Serang.

Senin, 09 April 2012

SELAYANG PANDANG PEMILU 2009

SELAYANG PANDANG PEMILU 2009


            Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bentuk dari penerapan budaya demokrasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1955 pada masa kabinet Burhanuddin Harahap. Berbicara soal pemilu khususnya pada pemilu 2009, maka hal tersebut tidak terlepas dari aturan main yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam melakukan tahap penyeleksian partai politik (parpol), pemerintah menerapkan sistem electoral threshold untuk mengurangi jumlah parpol yang ada. Pemerintah juga menerapkan sistem parliamentary threshold untuk menentukan batas minimal (ambang batas) perolehan suara yang harus dipenuhi peserta pemilu 2009 agar dapat menempatkan calon anggota legislatifnya di Parlemen. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dari kedua acuan sistem tersebut, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan sebanyak 34 parpol yang dinyatakan lolos verifikasi sekaligus dinyatakan sebagai peserta pemilu 2009. Parpol tersebut terdiri atas 16 partai yang memenuhi syarat sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 dan parpol yang pada periode 2004-2009 telah memiliki kursi di DPR RI, secara otomatis dapat menjadi peserta pemilu 2009 tanpa harus melewati tahapan verifikasi faktual. Partai-partai tersebut diantaranya adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Demokrat (PD), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Karya Perjuangan Bangsa (PKPB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Pelopor, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan 18 partai baru yang lolos verifikasi administrasi dan faktual KPU. KPU juga menetapkan enam parpol lokal Aceh dalam pemilu 2009, khusus untuk wilayah pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sementara parpol yang tidak lolos verifikasi mencapai 11 parpol dengan 2 parpol yang mengundurkan diri, yaitu Partai Kemakmuran Rakyat dan Partai Islam Indonesia Masyumi.
            Delapan belas parpol yang lolos dalam verifikasi administrasi dan faktual KPU tersebut diantaranya adalah Partai Barisan Nasional, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Karya Perjuangan, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, Partai Kebangkitan Nasional Ulama, Partai Kedaulatan, Partai Matahari Bangsa, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Partai Patriot, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Pemuda Indonesia, Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru, Partai Persatuan Daerah, dan Partai Republika Nusantara. Partai-partai tersebut dinyatakan lolos verifikasi dikarenakan mampu memenuhi kriteria yang ada pada sistem electoral threshold maupun parliamentary threshold, sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 mengenai ambang batas dalam electoral threshold untuk pemilihan legislatif 3% dari jumlah kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara sah suara nasional. Sementara ambang batas untuk parliamentary threshold tercantum dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 pasal 202, pasal 203, pasal 205, pasal 206, pasal 207, pasal 208, dan pasal 209. Pasal 202 ayat (1) menerangkan bahwa partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Dampak dari diberlakukannya sistem parliamentary threshold ini adalah dari sekian banyak parpol peserta pemilu 2009 yag ada, hanya 9 parpol saja yang memiliki wakilnya di parlemen.
            Keputusan KPU dalam meloloskan parpol peserta pemilu 2009 yang berjumlah 34 partai ini, dapat menunjukkan kepada kita bahwa tujuan pemerintah yang semula bermaksud untuk menyederhanakan jumlah parpol melalui penerapan electoral threshold dan parliamentary threshold menjadi tidak konsisten lagi terhadap tujuan dan rencana awal, karena yang terjadi adalah kuantitas daripada jumlah parpol peserta pemilu 2009 itu sendiri meningkat jika dibandingkan dengan jumlah parpol peserta pemilu 2004 yang hanya bekisar sebanyak 24 parpol. Akankah hal ini dapat terulang kembali pada pemilu 2014 mendatang ataukah penerapan dari sistem electoral threshold maupun parliamentary threshold tersebut, hanya akan menjadi sebuah konsep-konsep belaka tanpa makna yang jelas?.

Minggu, 08 April 2012

KONSEP SENTRALISASI, DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, DAN TUGAS PEMBANTUAN

KONSEP SENTRALISASI, DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, DAN TUGAS PEMBANTUAN

Pemerintah menerapkan konsep Otonomi Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan harapan agar pemerintah daerah dapat mengelola daerahnya sendiri dengan lebih baik, efisien, adil, dan merata untuk mencapai tujuan negara. Selain itu, otonomi daerah juga diterapkan dalam rangka tercapainya suatu bangsa yang lebih demokratis dan sistem pemerintahan yang lebih responsif. Dimana dalam pelaksanaannya, otonomi daerah tidak akan terlepas dari konsep sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang keseluruhannya merupakan satu rangkaian kesatuan (kontinum).
A.   Sentralisasi
Sentralisasi adalah pemusatan semua kewenangan pemerintahan (politik dan administrasi) pada pemerintah pusat. Dimana kewenangan administrasi adalah kewenangan melaksanakan kebijakan, sedangkan kewenangan politik, yaitu kewenangan membuat kebijakan.
B.   Desentralisasi
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab I Pasal 1 ayat 7, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
JHA Logemann membagi desentralisasi menjadi dua macam, yaitu:
1.    Dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan, yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan tugas pemerintah. Misalnya, pelimpahan menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/walikota, dan seterusnya secara berjenjang.
2.    Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi politik rakyat dengan menggunakan dan memanfaatkan saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan, dengan batas wilayah masing-masing.  Desentralisasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Desentralisasi Teritorial (Kewilayahan), yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie), batas pengaturannya adalah daerah. Desentralisasi teritorial mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang menerima penyerahan. Dimana daerah otonom tersebut dapat menentukan sendiri kebijakan daerahnya, kecuali kebijakan dalam bidang:
1.    Politik Luar Negeri
2.    Pertahanan
3.    Keamanan
4.    Peradilan
5.    Moneter
6.    Fiskal
7.    Agama
yang merupakan kajian wewenang pemerintah pusat.
b. Desentralisasi Fungsional, yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurusi fungsi tertentu. Batas pengaturan ini adalah jenis fungsi.
Konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan perspektif desentralisasi administratif (desentralisasi birokrasi). Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power), dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara perspektif desentralisasi administrasi mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority), dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau disebut juga dengan dekonsentrasi. Adanya perbedaan antara kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi tersebut, telah memiliki implikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai. Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal. Di sisi lain, Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi. Selain memiliki beberapa perbedaan mendasar, Perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi juga memiliki persamaan, yakni kedua perspektif desentralisasi tersebut mendudukkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai bagian dari faktor penentu bagi pencapaian tujuan desentralisasi.
            Menurut Smith (1985) desentralisasi memiliki ciri-ciri:
1.    Penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
2.    Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa (residual function).
3.    Penerima wewenang adalah daerah otonom.



Sumber:
Arenawati. 2011. Bahan Ajar Administrasi Pemerintahan Daerah: Sejarah, Konsep, dan Praktik Otonomi Daerah. Serang.
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widjaja, HAW. 2007. Penyelenggaraan otonomi di Indonesia dalam rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.